Tragedi Sampit Dayak vs Madura
Peristiwa
Memicu Tragedi Sampit Dayak vs Madura
– Sebelum peristiwa berdarah meledak di Sampit, pertikaian antara suku Dayak
dan suku Madura telah lama terjadi. Entah apa penyebab awalnya (Hanya Tuhan
yang tau), yang jelas suku Dayak dapat hidup berdampingan dengan damai bersama
suku lain tapi tidak suku Madura. Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap
etnis Madura…??? Bahkan keturunan suku terdekat dari suku Dayak pun (Banjar), kaget
melihat keberingasan mereka dalam Tragedi Sampit.
Menengok
kembali peristiwa lama yang MUNGKIN termasuk pemicu terjadinya
Tragedi sadis di Sampit (Berdasarkan info dr mbah gugel):
Tahun
1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu
diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat (Entah
benar entah tidak pelakunya orang Madura)
Tahun
1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya
tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.
Tahun
1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di
bunuh. Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang
madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama
Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian.
Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang
kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya
antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya,
mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
Tahun
1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala
dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya
sangat ringan.
Tahun
1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang
Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati
semua. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu
bela diri, dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum
terhadap orang
Dayak adalah dihukum berat.
Dayak adalah dihukum berat.
Tahun
1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak
laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan
sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30
tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda
yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya
kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
Tahun
1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga
meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun
tidak ada penyelesaian secara hukum.
Tahun
1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh
orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya
datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa
tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan
hukum.
Tahun
1999, di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa
orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian
tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa
yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah
terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
Tahun
1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat,
terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa
mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak
menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
Tahun
1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba
oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris
Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda
Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau
Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba
dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus,
sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka
membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
Tahun
2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh
orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
Tahun
2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku
Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa
proses hukum.
Tahun
2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi
pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku
Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah
lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya
belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
Tahun
2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena
dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
Tahun
2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang
oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan
dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku
Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah
terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.
“Sebelum
lanjut cerita berikutnya, admin berharap tidak ada yang menganggap berita ini
adalah sara. Kejadian demi kejadian di atas di paparkan bukan karena melihat
dari satu sisi saja dan info ini tidak untuk saling memfitnah atau sejenisnya
tapi hanya untuk sebagai pengingat dan pelajaran bagi kita agar tidak terulang
kembali kejadian mengerikan seperti ini.”
Lanjut
cerita: Banyak Versi tentang latar belakang tragedi ini, apa yang membuat suku
Dayak di Kalteng begitu kalap dalam menghadapi warga Madura. Hampir semua warga
dan tokoh Dayak yang menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai
penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan
kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa “di mana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal
tanah.
Ada
Versi lain mengatakan: Terjadinya perang antar suku Dayak dan suku Madura
karena kecemburuan sosial-Ekonomi.
Versi
berbeda juga menceritakan: Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan
melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku
Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya
menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak
memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah
tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin
ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum
yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat
Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.
Tidak
sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi
premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka
(kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak
hukum.
Etnis
madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut
masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka
sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang
Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal
inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.
Dari
cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang
dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat
Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha
kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak
semua suku Madura bersifat seperti ini.
Jadi,
berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi penyebab
pecahnya “perang” tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian Versi lain ini
adalah tidak benar.
Ada
yang mengungkapakan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan
Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat
persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan.
Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan
mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau
celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang “tamu”-nya selalu
siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan
ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat
keributan dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah amat mungkin
persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak
bernyawa tanpa kepala
Saat
terjadi pembantaian di Sampit entah bagaimana cara mereka (Etnis Dayak) yang
tengah di rasuki kemarahan membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya,
yang jelas suku-suku lainnya luput dari “serangan beringas” orang-orang Dayak.
sumber
: Republika, Tangisan Bumi Pertiwiku dan beberapa situs lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar